KINERJA BADAN PERMUSYAWARATAN DESA
(BPD) DALAM PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH
Abstrak :
Badan Permusyawaratan Desa (BPD)
merupakan perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa sebagai
unsure penyelenggara desa. Keberadaan BPD dalam pemerintahan desa adalah bukti
pelibatan masyarakat dalam bidang penyelengaaraan pemerintahan. Pada masa orde
baru pelibatan masyarakat di dalam penyelenggaraan pemerintahan desa di
laksanakan melalui pembentukan Lembaga Musyawarah Desa (LMD) dan Lembaga Ketahanan
Masyarakat Desa (LKMD). Namun lembaga tersebut kurang berfungsi secara
proporsional, hanya berfungsi sebagai tangan kanan dari Kepala Desa. Pada sisi
lainnya, hegemoni penguasa desa sangat dominan dalam segala hal. Akibatnya
masyarakat kurang bisa belajar berdemokrasi. Hal ini dibuktikan dengan
kekuasaan Kepala Desa yang dapat dikatakan analog dengan kekuasaan dictator
atau raja absolute, sehingga masyarakat kurang dapat secara leluasa menyalurkan
aspirasinya.
Kata Kunci: Kinerja, Badan Permusyawaratan Desa
(BPD)
PENDAHULUAN
Otonomi daerah telah memberikan
ruang gerak bagi partisipasi masyarakat dalam pembangunan, yang menjadikan
masyarakat tidak hanya sebagai objek pembangunan tetapi juga subjek pembangunan
dan dengan tingkat partisipasi tersebut diharapkan akselerasi hasil-hasil
pembangunan dapat segera diwujudkan dan berdayaguna dalam peningkatan kualitas
kehidupan masyarakat.
Partisipasi masyarakat tersebut
disamping dilaksanakan oleh lembaga-lembaga non formal seperti keterlibatan
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), kelompok-kelompok kepentingan lain melalui
tuntutan-tuntutan terhadap pemerintah atau bentuk penolakan terhadap kebijakan
pemerintah, juga dilaksanakan oleh lembaga-lembaga formal pada tingkat daerah
melalui kewenangan lebih besar pada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan
di tingkat desa dengan pembentukan Badan Permusyawaratan Desa (BPD).
Ruang gerak bagi demokratisasi dan
peran serta masyarakat tersebut dalam perjalanan belum berpihak secara
sungguh-sungguh terhadap kepentingan masyarakat. disadari bersama bahwa
mengubah suatu sistem sosial politik ekonomi serta kelembagaan dan budaya tidak
dapat terjadi dalam waktu relatif singkat (berlakunya sebuah UU tidak berarti
secara otomatis mengubah sistem, politik, dan budaya masyarakat). Diperlukan
adanya konsistensi, kemauan baik dari pelaksanaan UU, Kebijakan Pemerintah,
kesiapan dari masyarakat dan birokrasi pemerintah serta lembaga swadaya
masyarakat. Dengan kata lain ide-ide tentang otonomi daerah, demokratisasi dan
penghargaan atas hak-hak asasi manusia dalam pembangunan memiliki dinamika
sendiri dalam implementasinya baik dipusat, daerah, dan desa. Paradigma
pembangunan yang sentralistik terbukti telah gagal dan perlu dikembangkan
paradigma baru yaitu paradigma pembangunan yang melibatkan peran serta
masyarakat secara lebih luas melalui peningkatan civil society sehingga
pembangunan adalah dari masyarakat oleh masyarakat dan untuk masyarakat yang
pada akhirnya adalah Pembangunan Bangsa secara keseluruhan, dan itu hanya dapat
terjadi apabila pembangunan dimulai dari “pembangunan masyarakat desa”.
Saat ini, upaya untuk membangun dan
mengembangkan kehidupan masyarakat desa dirasakan semakin penting. Hal ini
disebabkan disamping karena sebagian besar penduduk tinggal di pedesaan, kini
partisipasi masyarakat di dalam kegiatan pembangunan juga sangatdiharapkan,
sebagaimana tercantum dalam UU nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Otonomi daerah sangat mensyaratkan keadaan sumber daya manusia yang mumpuni,
karena mereka inilah yang kelak akan lebih banyak menentukan bergerak atau
tidaknya suatu daerah di dalam menjalankan kegiatan pembangunan dan
pemerintahan pada umumnya.
Daerah yang otonom sangat
mensyaratkan keberadaan masyarakat yang otonom pula. Masyarakat yang otonom
adalah masyarakat yang berdaya, yang antara lain ditandai dengan besarnya
partisipasi mereka di dalam kegiatan pembangunan. Karena itulah, dalam era
otonomi daerah yang kini mulai dilaksanakan, peningkatan partisipasi masyarakat
dalam kegiatan pembangunan dan pemerintahan pada umumnya sangat penting.
Menurut Muchsan (dalam Suko
Wiyono 2006: 48-59) Secara teoritis dalam pelaksanaan otonomi daerah terdapat
sendi-sendi sebagai pilar penyangga otonomi, sendi-sendi tersebut meliputi: (1)
sharing of power (pembagian kewenangan); (2) distribution of income (pembagian
pendapatan); (3) empowering (kemandirian/pemberdayaan pemerintah
daerah).
Ketiga sendi tersebut sangat
berpengaruh dalam pelaksanaan otonomi daerah, apabila sendi tersebut semakin
kuat, maka pelaksanaan otonomi daerah semakin kuat pula, dan sebaliknya apabila
sendi-sendi tersebut lemah, maka pelaksanaan otonomi semakin lemah pula. Ketiga
sendi-sendi ini sebagai pilar-pilar otonomi telah dijabarkan dalam
prinsip-prinsip otonomi yang tertuang dalam UU No.22 Th.1999 tentang
Pemerintahan Daerah jo UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintahan Pusat dan Daerah maupun dalam Undang-Undang penggantinya UU No. 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah jo UU No. 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Daerah telah dijabarkan
tentang ketiga sendi tersebut yaitu dalam prinsip-prinsip otonomi.
Upaya untuk mempercepat terwujudnya
kesejahteraan masyarakat daerah sebenarnya telah banyak dilakukan oleh
pemerintah melalui berbagai program pembangunan, antara lain: Dana Pembangunan
Desa, Bantuan Inpres Desa Tertinggal, bantuan bibit dan pupuk bagi petani,
Kredit Usaha Tani, Kukesra, Takesra, bantuan bergulir ternak sapi dan lain
sebagainya. Namun demikian berbagai program tersebut gagal memberikan
kesejahteraan warga masyarakat di daerah (desa).
Upaya perwujudan kesejahteraan
melalui peningkatan peran serta masyarakat yang dilaksanakan dengan melibatkan
LSM, seperti dalam program jaring pengaman sosial, dan berbagai macam program
pengentasan kemiskinan telah dilaksanakan pada masa pemerintahan reformasi.
Namun hasilnya masih belum terealisasikan bahkan ada dugaan adanya penimpangan
penggunaan dana untuk program-program pengentasan kemiskinan, bahkan laporan
pertanggungjawaban kepala daerah isinya hanya menginformasikan penyelenggaraan
pemerintahan daerah tanpa menyinggung laporan penggunaan Dana Alokasi Umum
(DAU) yang dipergunakan untuk membiayai berbagai program peningkatan
kesejahteraan masyarakat.
Pelibatan masyarakat tidak hanya
dalam bidang peningkatan kesejahteraan tetapi juga dalam penyelenggaraan
pemerintahan. Keberadaan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dalam pemerintahan
desa adalah bukti pelibatan masyarakat tersebut.
Badan Permusyawaratan Desa yang
disingkat BPD pada dasarnya adalah penjelmaan dari segenap warga masyarakat dan
merupakan lembaga tertinggi Desa. BPD juga merupakan pemegang dan pelaksanan
sepenuhnya kedaulatan masyarakat desa. Lembaga ini memiliki urgensi yang tidak
jauh berbeda dengan DPR. Karenanya agar otonomi di desa dapat berjalan secara
proporsional.
A.
Teori
kinerja Organisasi
Konsep kinerja selalu dikaitkan
dengan akuntabilitas yang berkenaan dengan check and balance kelembagaan
dalam suatu administrasi.
Istilah kinerja merupakan terjemahan
dari performance yang sering diartikan sebagai penampilan unjuk kerja atau
prestasi. Prawirosentono (dalam Sinambela, 2006:136) mengemukakan
”bahwa
secara etimologi kinerja berasal dari kata performance, performace
berasal dari
kata to perform yang mempunyai beberapa masukan (entry) yaitu:
(1)Memasukkan, menjalankan, melaksanakan; (2)Memenuhi
atau menjalankan kewajiban suatu nazar; (3)Menggambarkan suatu karakter dalam
suatu pemainan; (4)Menggambarkannya dengan suara atau alat musik;
(5)Melaksanakan atau menyempurnakan dengan tanggungjawab; (6)Melakukan suatu
kegiatan dalam suatu permainan; (7)Memainkan alat musik; (8)Melakukan sesuatu
yang diharapkan oleh seseorang atau mesin. Tidaklah semua masukan tersebut
relevan dengan kinerja, disini hanya empat saja yakni: (1)Melakukan;
(2)Memenuhi atau menjalankan; (3)Melaksanakan tanggungjawab; dan (4)Melakukan
sesuatu yang diharapkan orang lain”
Pamungkas (dalam Juliantara, 2005:
38) menyatakan bahwa Kinerja adalah penampilan cara-cara untuk menghasilkan
sesuatu hasil yang diperoleh denga aktivitas yang dicapai dengan suatu unjuk
kerja.
Mahsun (2006: 25) mendefinisikan
kinerja (performance) sebagai suatu gambaran mengenai tingkat pelaksanaan suatu
kegiatan atau program atau kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan
visi organisasi yang tertuang dalam strategic planning suatu organisasi.
Kinerja organisasi didefinisikan Rue
& Byars (dalam Keban, 1995: 1), sebagai tingkat pencapaian hasil (“the
degree of accomplisment”), karena itu kinerja organisasi dapat dipandang
sebagai tingkat pencapaian tujuan organisasi (Keban, 1995 : 1). Definisi lain,
yang juga memandang kinerja secara internal, hanya membandingkannya dengan
tujuan organisasi, dikemukakan Gordon (1993: 332) bahwa “permormance ferers
specifically to performing and reaching group throught fast work speed;
outcomes of high quality, accuracy and quantity; observation of rules”.
Definisi kinerja dari pemahaman
secara eksternal, yang membandingkan dengan keseluruhan status organisasi
dengan pesaing, pemilik dan standart eksternal dikemukakan Holloway, Lewis dan
Mallory (1995 : 1) yang merumuskan konsep kinerja secara multidimensional,
yaitu sebagai “the overall status of and organizaitionin relation to
competitors, or aganst its own or external standar”. Cara pandang terhadap
kinerja baik secara internal maupun eksternal, pada dasarnya menunjukkan
perlunya suatu perhatian terhadap penggunaan standard internal dan eksternal
dalam pengukuran kinerja suatu organisasi pelayanan publik.
Kinerja organisasi menurut Perry (1989 : 619-626)
akan menunjuk pada efektivitas organisasi, dimana hal itu akan menyangkut
pengharapan untuk mencapai hasil yang terbaik sesuai dengan tujuan kebijakan.
Isu efektivitas organisasi dalam kaitannya dengan kinerja organisasi, menurut
Hodge, Anthony organisasi mencapai profit/tujuannya dan tingkat kepuasan dari
para pelanggan/penguna jasa pelayanannya. Efektivitas organisasi secara
internal dan Gales (1996) mencakup how well the organization is doing, bagaimana
suatu mencakup efisiensi dalam penggunaan sumberdaya dan faktor-faktor hubungan
manusia (conflic, happy, satisfied) yang akan mempengaruhi
produktivitas. Kinerja organisasi sebagaimana yang dikemukakan Boyatzis (dalam
Perry, 1989: 619-626) dilakukan untuk mencapai specific result (outcomes).
Kinerja organisasi mempertanyakan
apakah tujuan dan misi suatu organisasi telah sesuai dengan kenyataan kondisi
atau faktor ekonomi, politik dan budaya yang ada. Apakah memiliki
kepemimpinanan modal dan infrastruktur dalam mencapai misinya. Apakah kebijakan,
budaya dan sistem insentifnya mendukung pencapaian kinerja yang diinginkan dan
apakah organisasi tersebut menciptakan dan memelihara kebijakan-kebijakan
seleksi, pelatihan dan sumberdayanya.
Enyclopedi of publik Administration
and Publi Policy tahun 2003
(dalam Keban, 2005:193) menjelaskan bahwa kinerja menggambarkan sampai seberapa
jauh Organisasi tersebut mencapai hasil ketikadibandingkan dengan kinerja
terdahulu (Previous Performance), dan sampai seberapa jauh pencapaian tujuan
dan target yang telah ditetapkan.
Berbagai definisi kinerja diatas,
jika ditinjau dari bentuk rumusannya terdapat perbedaan, akan tetapi jika
ditinjau secara mendalam terdapat persamaan konsep yaitu pada hakekatnya
kinerja adalah gambaran dalam melakukan sesuatu kegiatan dan menyempurnakan
pekerjaan tersebut sesuai dengan tanggung jawabnya, sehingga dapat mencapai
hasil sesuai dengan yang diharapkan. Hakekat ini merupakan suatu pemahaman
bahwa ruang lingkup kinerja meliputi perencanaan, proses, dan hasil yang
dicapai.
Perencanaan merupakan rencana
pengolahan masukan (input) yang dibutuhkan agar pelaksanaan kegiatan berjalan
dengan baik untuk menghasilkan keluaran (output). Perencanaan diantaranya
meliputi perencanaan tujuan, visi dan misi, dan sumber daya (resource) yang dimiliki.
Proses merupakan pelaksanaan
kegiatan yang berkaiatan dengan ukuran kegiatan, baik segi kecepatan,
ketepatan, maupun tingkat akurasi pelaksanaan kegiatan, rambu-rambu yang paling
dominant dalam proses adalah tingkat efektivitas, efisiensi, dan ekonomis.
Hasil (output) adalah sesuatu yang
diharapkan langsung dicapai dari suatu kegiatan, dapat berupa benda fisik atau
non fisik. Aspek hasil menurut (Mahsun, 2006: 78) berupa outcomes yaitu tingkat
pencapaian hasil yang diperoleh dalam bentuk output. Apakah output dapat
dipergunakan sebagaimana mestinya dan memberikan kegunaan besar bagi
masyarakat. Benefit terkait dengan manfaat dari tujuan akhir pelaksanaan
kegiatan. Impact yaitu pengaruh yang ditimbulkan baik positif maupun negatif.
B.
Pengukuran
Kinerja
Pengukuran kinerja (Petformance
Measurenment) adalah suatu metode atau alat yang digunakan untuk mencatat dan
menilai pencapaian pelaksanaan kegiatan berdasarkan tujuan, sasaran dan
strategi, sehingga dapat diketahui kemajuan organisasi, serta meningkatakan
kualitas pengambilan keputusan dan akuntabilitas (Mahsun, 2006:26).
Pengukuran kinerja merupakan
penilaian terhadap kualitas pelayanan yang diberikan oleh aparatur pemerintah
terhadap masyarakat. Kurniawan (2005:52) mengemukakan bahwa untuk dapat menilai
sejauh mana kualitas pelayanan publik yang diberikan aparatur pemerintah, perlu
adanya kriteria yang menunjukkan apakah mutu pelayanan publik yang diberikan
dapat dikatakan baik atau buruk.
Indikator atau kriteria yang
digunakan untuk mengukur kinerja bersifat variatif artinya terdapat
berbagai indikator sesuai dengan fokus dan konteks penelitian.
Karakteristik good governance dapat
pula dijadikan indikator pengukuran kinerja yang meliputi participation,
rule of law,transparancy, responsiveness, consesus orientation, equity,
effectiveness and efficiency, accountability, dan stategic vision.
Lenvine dkk. (dalam Dwiyanto, 1995:
7-8)menawarkan tiga konsep indikator dalam pengukuran kinerja organisasi
pelayanan publik, yaitu : responsiveness, responsibility, dan accountability.
Responsiveness (responsivitas) adalah kemampuan organisasi untuk mengenali
kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, dan
mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai kebutuhan dan aspirasi
masyarakat. Responsivitas merupakan daya tanggap organisasi publik terhadap
kebutuhan dan aspirasi masyarakat yang dilayaninya. Birokrasi dalam memberikan
pelayanan publik tidak dapat dilepaskan dari kemampuannya dalam
mengidentifikasi dan mengakomodir berbagai kepentingan dari berbagi kelompok
yang ada di masyarakat (Herring, 1987: 74).
Responsibility, (responsibilitas), merupakan suatu
konsep yang menjelaskan persesuaian pelaksanaan kegiatan organisasi publik
dengan prinsip-prinsip administasi yang benar atau dengan kebijakan organisasi,
baik yang eksplisit maupun implisit. Dan dalam fungsi pelayanan publik
memerlukan birokrasi yang profesional dengan dipadukan otoritas dan kemampuan
diskresi, koordinasi serta responsibilitas (Herring, 1987: 78).
Accountability (akuntabilitas) merujuk pada
pertanggungjawaban eksternal organisasi, yaitu apakah kebijakan dan kegiatan
organisasi publik tunduk kepada para stakeholder-nya. Harmon dan Mayer
(1986: 384) mengemukakan bahwa efektivitas pelayanan merupakan ukuran accountability
dari suatu kebijakan organisasi publik sebagai standar kinerja pelayanan (provide
standart of correct action).
Berpijak dari adanya perbedaan dari
tujuan pada organisasi publik, Hughes (1994: 207) memilahkan indiktor ukuran
kinerja organisasi pada tiga pusat perhatian, yaitu: (1) apabila perhatian
utamanya pada efisiensi penggunaan sumberdaya, dipergunakan adalah pendekatan
ekonomis dengan penekanannya pada indiktor keluaran, dan apabila memungkinkan
pada hasil (outcome); (2) apabila perhatian utamanya pada akuntabilitas,
penekanannya pada indikator pelayanan publik; dan (3) apabila pusat
perhatiannya pada kompetisi manajerial, tekanannya pada pencapaian target.
Hatry (1989) mengemukakan bahwa
pengukuran kinerja dapat dilakukan dengan berpedoman pada sumber data dari (1) analysis
of agency records, (2) trained observer procedures, (3) citizen/client
surveys. Tujuan pengukuran kinerja disebutkan Hatry adalah untuk: (1)
mengetahui efisiensi dan kualitas layanan, (2) memotivasi birokrasi publik guna
meningkatkan kualitas layanan, (3) pengawasan pelaksana kebijakan, (4)
menentukan dan menyesuaikan anggaran, (5) mendorong birokrasi publik untuk
memusatkan perhatian pada kebutuhan masyarakat, dan (6) memperbaiki kualitas
layanan.
Parameter dalam indikator
responsivitas organisasi, yang meliputi: kemampuan mengenali kebutuhan dan
aspirasi masyarakat, khususnya pengguna layanan; dan daya tanggap serta
kemampuan organisasi mengembangkan program-program pelayanan sesuai kebutuhan
dan aspirasi masyarakat yang dilayaninya. Dalam indikator akuntabilitas
organisasi, parameter yang dipakai adalah: persesuaian layanan yang diberikan
dengan yang diharapkan pengguna jasa layanan; dan persesuaian kinerja dan
pelayanan dengan sikap politik Pemerintah. Responsibilitas organisasi merujuk
pada persesuaian pelaksana kerja organisasi dengan prosedur dan tatakerja yang
berlaku. Sedangkan ukuran efektivitas organisasi akan mencakup : persesuaian
pelaksanaan kegiatan kerja organisasi dengan tujuan; dan tingkat produktivitas
organisasi atau kemampuan pencapaian hasil dibandingkan dengan target.
Pendapat steers (1980), bahwa
faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat pencapaian tujuan organisasi
meliputi: karakteristik organisasi, karakteristik lingkungan, karakteristik
pekerja, serta kebijakan dan praktek manajemen.
C. Otonomi Daerah
Otonomi Daerah adalah penjabaran
penting dari tuntutan demokrasi di segala bidang. Daerah otonomi mempunyai
kewenangan dan keleluasaan untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut
prakarsa dan aspirasi masyarakat.
Penyelenggaraan otonomi daerah
dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung
jawab kepada daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan,
pembagian dan pemanfaatan sumber daya Nasional yang berkeadilan serta
perimbangan keuangan pusat dan daerah. Dalam penjelasan UU No.32 Tahun
2004,menjelaskan tentang penyelenggaraan otonomi daerah yang dilaksanakan dengan
menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya,dalam arti daerah diberikan
kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintah yang ditetapkan dalam
Undang-Undang ini. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk
memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa dan pemberdayaan
masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
Sejalan dengan prinsip tersebut
dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab,prinsip
otonomi yang nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan
pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang
senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh,hidup dan berkembang sesuai
dengan potensi dan kekhasan daerah lainnya. Adapun yang dimaksud dengan otonomi
yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannnya harus
benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi yang pada
dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat
yang merupakan bagian utama daritujuan nasional.
Pelaksanaan otonomi daerah juga
harus menjamin keserasian hubungan antara daerah dengan daerah lainnya, artinya
mampu membangun kerjasama antar daerah untuk meningkatkan kesejahteraan bersama
dan mencegah adanya ketimpangan antar daerah. Hal yang tidak kalah pentingnya
bahwa otonomi daerah juga harus mampu menjamin hubungan yang serasi antar
daerah dengan pemerintah artinya harus mampu memelihara dan menjaga keutuhan
wilayah Negara dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam
rangka mewujudkan tujuan Negara.
Menurut Muchsan (dalam Suko Wiyono,
2006:48-59), Secara teoritis dalam pelaksanaan otonomi daerah terdapat
sendi-sendi sebagai pilar penyangga otonomi. Sendi-sendi tersebut meliputi:
(1) sharing
of power (pembagian kewenangan);
Pembagian
kewenangan (sharing of power) antara pusat dan daerah ini menurut
Oentarto dalam Suko Wiyono (2006: 49):
“Secara teoritis ada 3 (tiga) urusan pusat yang tidak
dapat diserahkan kepada Daerah yaitu: pertahanan keamanan, urusan diplomasi
atau politik luar negeri, dan urusan moneter dalam pengertian mencetak dan
memberi nilai mata uang”
Berdasarkan pasal 10 ayat (3) UU No. 32 Th.2004 yang
isinya Pemerintah menyelenggarakan sendiri atau dapat melimpahkan sebagian
urusan pemerintahan kepada perangkat Pemerintah atau Wakil Pemerintahdi daerah
atau dapat menugaskan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan Desa.
(2) distribution
of income (pembagian pendapatan);
Pembagian
pendapatan (distribution of income) diatur berdasarkan UU No.33 Tahun
2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan
Daerah. Landasan Filosofis dan landasan Konstitusionalnya adalah pasal 18 A
ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perubahan.
Pasal ini mengamanatkan agar hubungan keuangan, pelayanan umum, serta
pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antar Pemerintahan Pusat
dan Pemerintahan Daerah di atur dan dilaksanakn secara adil dan selaras
berdasarkan Undang-Undang.
Menurut Suko
Wiyono (2006:50) ada Delapan (8) model pembagian pendapatan, yakni :
a. 90% untuk Pemerintah Daerah dan 10%
untuk Pemerintah Pusat. Ini berlaku untuk Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan
seluruh biaya yang berkaitan dengan tanah;
b. 80% untuk Pemerintah Daerah dan 20%
untuk Pemerintah Pusat, berlaku untuk Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB);
c. 20% untuk Pemerintah Daerah dan 80%
untuk Pemerintah Pusat, berlaku untuk Pajak Penghasilan (PPh);
d. 80% untuk Pemerintah Daerah
penghasil dan 20% untuk Pemerintah Pusat, berlaku untuk penerimaan kehutanan
yang berasal dari penerimaan Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH) dan Provisi
sumberdaya Hutan (PSDH), Penerimaan Pertambangan Umum, Pertambangan Panas Bumi;
e. 80% untuk seluruh kabupaten/kota dan
20% untuk Pemrintah Pusat berlaku untuk Penerimaan Perikanan yang diterima
secara nasional;
f. 40% untuk Pemerintah Daerah dan 60%
untuk Pemerintah Pusat, berlaku untuk Penerimaaan Kehutanan yang berasal dari
Dana Reboisasi;
g. 15.5% untuk Pemerintah Daerah dan
84.5% untuk Pemerintah Pusat, berlaku untuk Penerimaan Pertambangan Minyak Bumi
yang dihasilkan wilayah daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen
pajak dan pungutan lainnya sesuai peraturan perundangan;
h. 30.5% untuk Pemerintah Daerah dan
69.5% untuk Pemerintah Pusat, berlaku untuk Penerimaan Pertambangan Gas Bumi
yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan setelah dikurangi
komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan peraturan perundangan.
(3) empowering (kemandirian/pemberdayaan
pemerintah daerah).
Pemberdayaan (empowering) harus dilakukan untuk
meningkatkan kesejahteraan dan demokratisasi dalam kehidupan masyarakat
Daerah.upaya mewujudkan demokrasi dan demokratisasi dapat dilakukan dengan adanya
perubahan fundamental yaitu pemisahan antara lembaga eksekutif yaitu kepala
daerah beserta perangkatnya yang kemudian disebut dengan Pemerintah Daerah, dan
lembaga legislatif Daerah yaitu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Dalam
pasal 41 UU No.32 Th.2004 tentang Pemerintahan Daerah DPRD memiliki fungsi
legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan atas penyelenggaraan
pemerintah Daerah. Sedangkan Pemerintahan Desa memiliki Badan Permusyawaratan
Desa.
Perubahan sistem Pemerintahan Daerah
ini sasarannya adalah: (1)Pembangunan sistem, iklim dan Kehidupan politik yang
demokratis, (2)Penciptaan Pemerintahan Daerah yang bersih dan berwibawa serta
bernuansa desentralisasi, (3)Pemberdayaan masyarakat agar mampu berperan secara
optimal dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah, (4)Penegakan
supremasi hukum.
Fungsi DPRD menurut pasal 41 UU No. 32 tahun 2004
yaitu : (1)Fungsi Legislasi; (2)Fungsi Anggaran; (3)Fungsi Pengawasan (kontrol)
Dalam mewujudkan sasaran tersebut,
DPRD selain memiliki fungsi juga memiliki tugas, wewenang dan hak-hak secara
luas. Sehingga dalam perwujudannya diperlukan langkah konkrit yang mampu
mendorong agar DPRD dapar berperan secara optimal dalam Pemerintahan Daerah.
Tugas dan wewenang yang dimiliki oleh DPRD menurut
pasal 42 UU No. 32 Tahun 2004 adalah (1)Membentuk Perda yang dibahas dengan
Kepala Daerah untuk mendapat persetujuan bersama; (2)Membahas dan menyetujui
rancangan Perda tentang APBD bersama dengan kepala Daerah; (3)Melaksanakan
pengawasan terhadap pelaksanaan Perda dan peraturan perundang-undangan lainnya,
peraturan kepala daerah, APBD, kebijakan pemerintah daerah dalam melaksanakan
program pembangunan daerah, dan kerjasama Internasional di daerah;
(4)Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah/wakil kepala daerah
kepda Presiden melalui Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur bagi DPRD
kabupaten/kota; (5)Memilih wakil kepala daerah dalam hal terjadi kekosongan
jabatan wakil kepala daerah; (6)Memberikan pendapat dan pertimbangan kepada
pemerintah daerah terhadap rencana perjanjian Internasional
di daerah; (7)Memberikan persetujuan terhadap rencana
perjanjian Internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah; (8)Meminta
laporan keterangan pertanggung-jawaban kepala daerah dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah; (9)Membentuk panitia pengawas pemilihan kepala daerah;
(10)Melakukan pengawasan dan meminta laporan KPUD dalam penyelenggaraan
pemilihan kepala daerah; dan (11)Memberikan persetujuan terhadap rencana
kerjasama antar daerah dan dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan
daerah.
Hasil dari perubahan tersebut dapat
menyuburkan proses reformasi pada tingkat lokal dan memberi ruang gerak pada
bidang politik, pengelolaan keuangan daerah dan pemanfaatan sumber daya daerah
untuk kepentingan masyarakat lokal sehingga tercipta corak pembangunan baru di
daerah.
Peluang untuk mendorong perubahan
antara lain, yaitu:
a. Menguatkan keyakinan publik bahwa
demokrasi merupakan jalan yang paling baik untuk mencapai sebuah kehidupan baru
yang lebih baik dan bermakna.
b. Adanya perubahan konfigurasi
kekuatan dan kekuasaan politik. Perubahan konfigurasi ini sudah tentu membuka
kemungkinan untuk memasukkan ide-ide baru termasuk kritik atas skema lama yang
sangat merugikan rakyat.
c. Adanya pembaharuan struktur
kekuasaan, termasuk ide mengenai otonomi yang sedikit banyak telah mengubah
struktur lama yang hirarkis.
D. Badan Permusyawaratan Desa
Badan Permusyawaratan desa yang
selanjutnya disebut BPD adalah lembaga yang merupakan perwujudan demokrasi
dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa sebagai unsur penyelenggara
Pemerintahan Desa. BPD berfungsi untuk menetapkan Peraturan Desa bersama kepala
Desa, dan menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Anggota BPD adalah
wakil dari penduduk Desa bersangkutan berdasarkan keterwakilan wilayah yang
ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat. Masa jabatan anggota BPD adalah
6 tahun dan dapat diangkat/diusulkan kembali untuk I (satu) kali masa jabatan
berikutnya, pimpinan dan anggota BPD tidak diperbolehkan merangkap sebagai
kepala desa dan perangkatnya.
Sesuai dengan Perda Kabupaten Malang
No: 14 Tahun 2006 Tentang Badan Permusyawaratan Desa, menjelaskan tentang
kedudukan BPD berdasarkan pasal 10 yakni; BPD berkedudukan sebagai unsur penyelenggara
pemerintahan Desa. Sedangkan fungsi BPD diatur dalam Pasal 11
yaitu;(1)Menetapkan Peraturan Desa bersama kepala Desa; (2)Menampung dan
menyalurkan aspirasi masyarakat.
Sedangkan Pasal 12, menyatakan
tentang wewenang BPD yaitu: (1)Membahas rancangan Peraturan Desa bersama kepala
Desa;(2)Melaksanakan Pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Desa san
Peraturan Kepala Desa;(3)Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Kepala
Desa; (4)Membentuk panitia dan memproses pemilihan kepala Desa;(5)Menggali,
menampung, menghimpun, merumuskan dan menyalurkan aspirasi masyarakat; dan
(6)Menyusun tata tertib BPD.
Dalam Pasal 13 berisi tentang
hak-hak yang dimiliki BPD antara lain: (1)Meminta keterangan kapada pemerintah
Desa; (2)Menyatakan pendapat. Sedangkan kewajiban BPD diatur dalam Pasal 14
yakni: (1)BPD berkewajiban menyampaikan informasi hasil kinerjanya kepada
masyarakat; (2)Penyampaian hasil kinerja BPD sebagaimana dimaksud pada ayat
(1)disampaikan paling sedikit 1 (satu) kali dalam setahun; (3)Penyampaian hasil
kinerja BPD dapat dilakukan melalui pertemuan atau media cetak/elektronik.
Anggota BPD juga memiliki hak-hak
yang diatur dalam pasal 15 ayat 1 yakni: (1)Mengajukan Rancangan Peraturan
Desa; (2)Mengajukan Pertanyaan; (3)Menyampaikan usul dan Pendapat; (4)Memilih
dan dipilih; dan (5)Memperoleh tunjangan. Sedangkan kewajiban anggota BPD
diatur dalam pasal 15 ayat 2 yakni: (1)Mengamalkan pancasila, melaksanakan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan mentaati segala
peraturan perundang-undangan; (2)Melaksanakan kehidupan demokrasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan desa; (3)Mempertahankan dan memelihara hukum
nasional serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; (4)Menyerap,
menampung, menghimpun dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat;
(5)Mendahulukan kepentingan umum
diatas kepentingan pribadi, kelompok dan golongan; (6)Menghormati nilai-nilai
sosial budaya dan adat istiadat masyarakat setempat dan norma-norma agama;
(7)Menjaga norma dan etika dalam hubungan kerja dengan lembaga kemasyarakatan;
(8)Memproses pemilihan Kepala Desa.
Pasal 16 berisi tentang larangan
bagi pimpinan dan anggota BPD antara lain: (1)Merangkap jabatan sebagai Kepala
Desa dan Perangkat Desa; (2)Sebagai Pelaksana proyek desa; (3)Merugikan
kepentingan umum, meresahkan sekelompok masyarakat dan mendiskriminasikan warga
atau golongan masyarakat lain; (4)Melakukan korupsi, kolusi, nepotisme dan
menerima uang, barang dan/jasa dari pihak lain yang dapat mempengaruhi
keputusan atau tindakan yang akan dilakukannya; (5)Menyalah gunakan wewenang;
dan (6)Melanggar sumpah/janji jabatan.
1. Kedudukan BPD dalam pemerintahan
Desa
BPD dengan Kepala Desa mempunyai
kedudukan setara, karena kedua belah pihak sama-sama dipilih oleh anggota
masyarakat desa tetapi kalau dilihat dari proses pemberhentian, terkesan BPD
berkedudukan lebih tinggi, dimana BPD mempunyai kewenangan mengusulkan
pemberhentian Kepala Desa kepada Bupati. Sementara Kepala Desa tidak lebih dari
pada itu, dalam proses penetapan perangkat desa, Kepala Desa harus meminta
persetujuan kepada BPD. Namun, demikian kedua belah pihak tidak saling
menjatuhkan karena sama-sama dilihat oleh masyarakat dan mengemban amanah dari
masyarakat.
Kedudukan BPD dan pemerintah desa sejajar, artinya
Kepala Desa dan BPD sama posisinya dan tidak ada yang berada lebih tinggi atau
lebih rendah. Keduanya dipilih oleh masyarakat dan mengemban amanah dari
masyarakat.
Hubungan BPD
dengan Pemerintah Desa
Hubungan antara BPD dengan
pemerintah desa adalah mitra, artinya antara BPD dan kepala Desa harus bisa
bekerja sama dalam penetapan peraturan desa dan APBDes. BPD mempunyai tugas
konsultatif dengan kepala desa untuk merumuskan dan menetapkan kebijakan dalam
melaksanakan pemerintahan dan pembangunan desa, selain itu BPD juga berkewajiban
untuk membantu memperlancar pelaksanaan tugas kepala desa.
Mengingat bahwa BPD dan Kepala desa
itu kedudukannya setara maka antara BPD dan kepala desa tidak boleh saling
menjatuhkan tetapi harus dapat meningkatkan pelaksanaan koordinasi guna
mewujudkan kerjasama yang mantap dalam proses pelaksanaan pembangunan yang
merupakan perwujudan dari peraturan desa.
E. Kinerja BPD
Berdasarkan Perda Kabupaten Malang
No.14 tahun.2006 tentang Badan Permusyawaratan Desa yang dikatakan sebagai
kinerja BPD tak lain meliputi tugas dan wewenang BPD sendiri, adalah sebagai
berikut:
1. Menetapkan Peraturan Desa (perdes)
bersama Kepala Desa
2. Menampung dan menyalurkan aspirasi
masyarakat
3. melaksanakan pengawasan terhadap
pelaksanaan Peraturan Desa dan Peraturan Kepala Desa
4. Mengusulkan pengangkatan dan
pemberhentian Kepala desa
Invancevich, lorenzi,
Skinner, dan Crosby (dalam Ratminto dan Winarsih, 2005: 120) mendefinisikan
budaya kinerja sebagai suatu situasi kerja yang memungkinkan semua karyawan
dapat melakukan semua pekerjaan dengan cara terbaik.
Penutup
Dari pembahasan diatas
dapat disimpulkan bahwa kinerja Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dititikberatkan pada proses
penyelenggaraan Pemerintah Desa yang reponsivitas, responsibilitas dan
akuntabilitas. Sehingga diharapkan terjadinya penyelenggaraan pemerintah yang
mengedepankan pemerintah yang aspiratif dan bertanggungjawab demi kemajuan,
kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Kinerja Badan Permusyawaratan Desa
(BPD) diwujudkan dengan adanya pembentukan tata tertib BPD, Pembuatan Perdes
bersama dengan Pemerintah Desa, pengangkatan dan pemberhentian kepala desa. Kinerja BPD dalam pelaksanaan otonomi daerah bertujuan
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan
kepentingan dan aspirasi masyarakat.